ini tugas apa ya lupa ...
BAB I
PENDAHULUAN
Islam agama yang diturunkan Allah swt.
kepada manusia untuk menata seluruh dimensi kehidupan mereka. Setiap ajaran
yang digariskan agama ini tidak ada yang berseberangan dengan fitrah manusia.
Unsur hati, akal, dan jasad yang terdapat dalam diri manusia senantiasa
mendapatkan “khithab ilahi” (arahan Allah) secara proporsional yang termasuk di
dalamnya Allah mengatur dengan jelas tentang kebutuhan manusia akan kehidupan
berkeluarga, menikah dan memiliki keturunan.
Islam melarang umatnya hidup membujang
laiknya para pendeta. Hidup hanya untuk memuaskan dimensi jiwa saja dan
meninggalkan proyek berkeluarga dengan anggapan bahwa berkeluarga akan menjadi
penghalang dalam mencapai kepuasan batin. Hal ini merupakan bentuk penyimpangan
fitrah manusia yang berkaitan dengan unsur biologis.
Berkeluarga dalam Islam merupakan
sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk (kecuali malaikat), baik manusia,
hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan ditekankan dalam ajaran Islam bahwa nikah
adalah sunnah Rasulullah saw. yang harus diikuti oleh umat ini. Nikah dalam
Islam menjadi sarana penyaluran insting dan libido yang dibenarkan dalam
bingkai ilahi. Agar kita termasuk dalam barisan umat ini dan menjadi manusia
yang memenuhi hak kemanusiaan, maka tidak ada kata lain kecuali harus mengikuti
Sunnah Rasul, yaitu nikah secara syar’i.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.”
(An-Nisa: 1)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Sa’idbin Abu
Maryam menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far mengabarkan kepada kami,
Humaid bin Abu Humaid At-Thawil bahwasanya ia mendengar Anas bin Malik r.a.
berkata: “Ada tiga orang yang mendatangi rumah-rumah istri Nabi saw. menanyakan
ibadah Nabi saw. Maka tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan tidak
berarti (sangat sedikit). Mereka berkata: “Di mana posisi kami dari Nabi saw.,
padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan
datang.” Salah satu mereka berkata: “Saya akan qiyamul lail selama-lamanya.”
Yang lain berkata: “Akan akan puasa selamanya.” Dan yang lain berkata: “Aku
akan menghindari wanita, aku tidak akan pernah menikah.” Lalu datanglah Rasulullah
saw. seraya bersabda: “Kalian yang bicara ini dan itu, demi Allah, sungguh aku
yang paling takut dan yang paling takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa
dan berbuka, aku sholat, aku tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa yang
benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (Al-Bukhari)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pentingnya
Membangun Rumah Tangga Muslim
Imam Hasan Al- Banna telah memberikan
batas-batas kewajiban yang harus dilakukan setiap kader dakwah. Beliau meminta
kepada kita agar menyempurnakan kewajiban kita sebagai pribadi terlebih dahulu
hingga akhirnya layak untuk masuk dalam barisan aktivis dakwah yang jujur dan
menjadi penopang bagi dakwah yang agung ini. Seorang muslim merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari keluarga dan masyarakatnya. Ia bagaikan satu tubuh.
Jika tubuh sehat, maka badan akan menjadi kuat dan dinamis. Islam telah
memberikan solusi dan motivasi agar setiap pribadi proaktif dan bisa bermanfaat
bagi orang lain. Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyepelekan kebaikan
sedikitpun walaupun hanya sekedar memberikan senyuman kepada saudaranya.” (HR.
Muslim).
Setelah seseorang sholih secara pribadi,
maka tahapan selanjutnya adalah menyebarkan kesholihannya kepada keluarga dan
rumah tangganya. Rumah tangga merupakan benih bagi terbentuknya masyarakat dan
Negara Islami. Apabila benihnya baik dan bagus, masyarakat dan Negara akan
menjadi kuat, kokoh, dan solid. Imam Hasan Al-Banna telah menyebutkan sejumlah
unsur yang menentukan jalan bagi para kader dakwah untuk membentuk rumah tangga
Islami, diantaranya yaitu:
1. Mengkondisikan keluarga agar menghargai fikrohnya, hal ini dapat
dilakukan dengan cara: pertama, mendidik dan meningkatkan taraf pengetahuan
istri atau suami agar memahami makna dakwah. Kedua, memperlakukan istri atau
suami sebagai mitra dalam semua urusan kehidupan; sejak dari mendidik anak
hingga kepada membangun masyarakat. Interaksi yang dijalin menggunakan
pola-pola musyawarah dan saling memahami, bukan interaksi yang penuh kebencian,
main perintah, dan cacian. Ketiga,apabila suami atau istri memiliki kapabilitas
dan kemampuan, diharapkan para suami atau istri dapat memberdayakan dalam
berdakwah bersamanya. Keempat, para suami harus menjadi teladan yang baik bagi
istri dan anak-anaknya. Kelima, bukan merupakan suatu hal yang mustahil jika
ada orang tua yang berakhlak baik namun anaknya tidak berakhlak. Oleh karena
itu, seorang suami atau istri harus bekerjasama dengan berbagai pihak untuk
membentuk karakter dan meninggalkan akhlaknya. Sebab karakter diperoleh dari
kebiasaan, sedangkan akhlak diperoleh dari mencontoh orang lain.
2. Menjaga akhlak dan adab Islam.
Akhlak dan adab sangat berkaitan erat dengan ajaran Islam. Oleh karena itu,
akhlak dan adab harus diterapkan dalam keluarga, mulai dari yang kecil hingga
dewasa. Jika Islam telah mewarnai kehidupan rumah tangga, keluarga tersebut
layak menjadi unsure dalam pembentukan masyarakat Islami.
Tahapan pertama untuk mewujudkan rumah
tangga yang Islami adalah dengan memilih pasangan yang baik. Memilih pasangan
sangat penting karena ia akan mendidik anak-anaknya dan melayani keluarganya.
Kedudukan suami dan istri menjadi sangat penting untuk membina rumah tangganya
dengan akhlak, ilmu, dan kesabaran.
Sebagian besar akhlak yang turun kepada anak
merupakan warisan yang berasal dari ibunya. Jika memilih calon ibu, pilihlah
yang sholihah dan beriman karena kebaikan yang ada padanya akan turun kepada
anaknya. Namun jika anda memilih calon ibu dari tempat yang tidak baik,
sifat-sifatnyapun akan menurun kepada anaknya. Syarat ini juga berlaku bagi
pemilihan calon suami. Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa menikahi wanita
karena hartanya, Allah akan membuatnya menjadi fakir. Barangsiapa yang menikahi
wnaita karena kedudukannya, Allah akan membuatnya menjadi terhina. Barangsiapa
yang menikahi wanita karena ingin menundukkan pandangannya dan menjaga
kemaluannya atau mendapatkan kasih sayangnya, Allah akan memberikan keberkahan
kepadanya karena wanita tersebut dan memberkahi wanita tersebut.” (HR. Ibnu Hibban)
Menikah tidak seperti transaksi dagang yang
memperhitungkan untung atau rugi. Menikah juga bukan merupakan sekedar
kesenangan seksual semata. Menikah merupakan perpaduan dari seluruh unsure
dengan menekankan pada aspek akhlak dan agaman. Rasulullah saw bersabda:
“Wanita dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan
agamanya. Dahulukanlah oleh kalian agamanya, maka kalian akan selamat.” (HR
Bukhari dan Muslim).
Islam telah mengarahkan laki-laki dan wanita
untuk memilih pasangan yang baik dengan teliti dan cermat karena keduanya tidak
akan dapat kembali seperti semula jika salah dalam memilih. Kebanyakan yang
sering membuat pasangan suami istri berkelahi dan membuat hancur rumah
tangganya sendiri adalah kesalahan dalam memilih calon istri karena melebihkan
satu sisi saja ketimbang sisi yang lain.
B. Urgensi Membentuk Keluarga Islami
Ada beberapa faktor yang mendasari
urgensinya pembentukan keluarga dalam Islam sebagaimana berikut:
1. Perintah Allah swt.
Membentuk dan membangun mahligai keluarga
merupakan perintah yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dalam beberapa
firman-Nya. Agar teralisasi kesinambungan hidup dalam kehidupan dan agar
manusia berjalan selaras dengan fitrahnya. Kata “keluarga” banyak kita temukan
dalam Al-Quran seperti yang terdapat dalam beberapa ayat berikut ini;
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.”
(Asy-Syu’ara’: 214)
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan shalat dan Bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta
rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu
adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
2. Membangun Mas’uliah Dalam Diri Seorang
Muslim.
Sebelum seorang berkeluarga, seluruh
aktivitasnya hidupnya hanya fokus kepada perbaikan dirinya. Mas’uliah (tanggung
jawab) terbesar terpusat pada ucapan, perbuatan, dan tindakan yang terkait
dengan dirinya sendiri. Dan setelah membangun mahligai keluarga, ia tidak hanya
bertanggungjawab terhadap dirinya saja. Akan tetapi ia juga harus
bertanggungjawab terhadap keluarganya. Bagaimana mendidik dan memperbaiki
istrinya agar menjadi wanita yang shalehah. Wanita yang memahami dan
melaksanakan hak serta kewajiban rumah tangganya. Bagaimana mendidik
anak-anaknya agar menjadi generasi rabbani nan qurani. Coba kita perhatikan
beberapa hadits berikut ini:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Sesungguhnya Allah Ta’ala akan meminta
pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia
menjaga kepemimpinannya atau melalaikannya, sehingga seorang laki-laki ditanya
tentang anggota keluarganya.” (Hadits gharib dalam Hilayatul Auliya, 9/235,
diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Isyratun Nisaa’, hadits no 292 dan Ibnu
Hibban dari Anas dalam Shahihul Jami’, no.1775; As-Silsilah Ash-Shahihah
no.1636).
Dari Aisyah r.a., berkata: “Nabi saw.
bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik pada kelurganya dan aku
paling baik bagi keluargaku.” (Imam Al-Baihaqi)
Dari Abu Hurairah r.a., berkata: Rasulullah
saw. bersabda: “Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik
akhlaknya, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik
terhadap istri-istrinya.” (Imam At-Tirmidzi, dan ia berkata: “Hadits hasan
shahih.”
3. Langkah Penting Membangun Masyarakat
Muslim
Keluarga muslim merupakan bata atau
institusi terkecil dari masyarakat muslim. Seorang muslim yang membangun dan
membentuk keluarga, berarti ia telah mengawali langkah penting untuk berpartisipasi
membangun masyarakat muslim. Berkeluarga merupakan usaha untuk menjaga
kesinambungan kehidupan masyarakat dan sekaligus memperbanyak anggota baru
masyarakat.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Dari Anas r.a. berkata: “Rasulullah saw.
memerintahkan kami dengan “ba-ah” (mencari persiapan nikah) dan melarang
membunjang dengan larangan yang sesungguhnya seraya bersabda: “Nikaihi wanita
yang banyak anak dan yang banyak kasih sayang. Karena aku akan berlomba dengan
jumlah kamu terhadap para nabi pada hari kiamat.” (Imam Ahmad, dishahihkan Ibnu
Hibban. Memiliki “syahid” pada riwayat Abu Dawud, An-Nasaai dan Ibnu Hibban
dari hadits Ma’qil bin Yasaar)
4. Mewujudkan Keseimbangan Hidup
Orang yang membujang masih belum
menyempurnakan sisi lain keimanannya. Ia hanya memiliki setengah keimanan. Bila
ia terus membujang, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya,
kegersangan jiwa, dan keliaran hati. Untuk menciptakan keseimbangan dalam
hidupnya, Islam memberikan terapi dengan melaksanakan salah satu sunnah Rasul,
yaitu membangun keluarga yang sesuai dengan rambu-rambu ilahi. Rasulullah saw.
bersabda:
Dari Anas bin Malik r.a. berkata:
“Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang menikah maka ia telah
menyempurnakan setengah agama. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam
setengahnya.” (Imam Al-Baihaqi)
Menikah juga bisa menjaga keseimbangan
emosi, ketenangan pikiran, dan kenyamanan hati. Rasulullah saw. bersabda:
Dari Abdullah berkata: Rasulullah saw.
bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, barangsiapa dari kalian yang memiliki
kemampuan, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya menikah itu akan
menundukkan pandangan dan memelihara farji (kemaluan). Barangsiapa yang tidak
mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu merupakan benteng baginya.
(Imam Muslim).
C.
Pilar
Peyangga Keluarga Islami
1.
Iman dan Taqwa
Faktor pertama dan terpenting adalah iman
kepada Alloh dan hari akhir, takut kepada Dzat Yang memperhatikan segala yang
tersembunyi serta senantiasa bertaqwa dan bermuraqabbah (merasa diawasi oleh
Alloh) lalu menjauh dari kedhaliman dan kekeliruan di dalam mencari kebenaran.
"Demikian diberi pengajaran dengan itu,
orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat. Barang siapa yang bertaqwa
kepada Alloh niscaya Dia kan mengadakan baginya jalan keluar. Dan Dia kan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa
yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan keperluannya."
(Ath Thalaq: 2-3).
Di antara yang menguatkan tali iman yaitu
bersungguh-sungguh dan serius dalam ibadah serta saling ingat-mengingatkan.
Perhatikan sabda Rasululloh: "Semoga Alloh merahmati suami yang bangun
malam hari lalu shalat dan membangunkan pula istrinya lalu shalat pula. Jika
enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya. Dan semoga Alloh merahmati istri
yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula suaminya lalu shalat
pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya." (HR. Ahmad, Abu
Dawud, An Nasa'i, Ibnu Majah).
Hubungan suami istri bukanlah hubungan
duniawi atau nafsu hewani namun berupa interaksi jiwa yang luhur. Jadi ketika
hubungan itu shahih maka dapat berlanjut ke kehidupan akhirat kelak. FirmanNya:
"Yaitu surga 'Adn yang mereka itu masuk di dalamnya bersama-sama orang
yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya." (Ar
Ra'du: 23)
2. Hubungan Yang Baik
Termasuk yang mengokohkan hal ini adalah
pergaulan yang baik. Ini tidak akan tercipta kecuali jika keduanya saling
mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
Mencari kesempurnaan dalam keluarga dan
naggotanya adalah hal mustahil dan merasa frustasi daklam usha melakukan
penyempurnan setiap sifat mereka atau yang lainnya termasuk sia-sia juga.
3. Tugas Suami
Seorang suami dituntut untuk lebih bisa
bersabar ketimbang istrinya, dimana istri itu lemah secara fisik atau
pribadinya. Jika ia dituntut untuk melakukan segala sesuatu maka ia akan buntu.
Teralalu berlebih dalam meluruskannya
berarti membengkokkannya dan membengkokkannya berarti menceraikannya.
Rasululloh bersabda: "Nasehatilah wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka
diciptakan dari tulang rusuk dan bagian yang bengkok dari rusuk adalah bagian
atasnya. Seandainya kamu luruskan maka berarti akan mematahkannya. Dan
seandainya kamu biarkan maka akan terus saja bengkok, untuk itu nasehatilah
dengan baik." (HR. Bukhari, Muslim)
Jadi kelemahan wanita sudah ada sejak
diciptakan, jadi bersabarlah untuk menghadapinya. Seorang suami seyogyanya
tidak terus-menerus mengingat apa yang menjadi bahan kesempitan keluarganya,
alihkan pada beberapa sisi kekurangan mereka. Dan perhatikan sisi kebaikan
niscaya akan banyak sekali.
Dalam hal ini maka berperilakulah lemah
lembut. Sebab jika ia sudah melihat sebagian yang dibencinya maka tidak tahu
lagi dimana sumber-sumber kebahagiaan itu berada. Alloh berfirman;"Dan
bergaullah bersama mereka dengan patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai
mereka maka bersabarlah Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Aloh
menjadikannya kebaikan yang banyak." (An Nisa': 19)
Apabila tidak begitu lalu bagaimana mungkin
akan tercipta ketentraman, kedamaian dan cinta kasih itu: jika pemimpin
keluarga itu sendiri berperangai keras, jelek pergaulannya, sempit wawasannya,
dungu, terburu-buru, tidak pemaaf, pemarah, jika masuk terlalu banyak mengungkit-ungkit
kebaikan dan jika keluar selalu berburuk sangka.
Padahal sudah dimaklumi bahwa interaksi yang
baik dan sumber kebahagiaan itu tidaklah tercipta kecuali dengan kelembutan dan
menjauhakan diri dari prasangka yang tak beralasan. Dan kecemburuan terkadang
berubah menjadi prasangka buruk yang menggiringnya untuk senantiasa menyalah
tafsirkan omongan dan meragukan segala tingkah laku. Ini tentu akan membikin
hidup terasa sempit dan gelisah dengan tanpa alasan yang jelas dan benar.
4. Tugas Istri
Kebahagiaan, cinta dan kasih sayang tidaklah
sempurna kecuali ketika istri mengetahui kewajiban dan tiada melalaikannya.
Berbakti kepada suami sebagai pemimpin, pelindung, penjaga dan pemberi nafkah.
Taat kepadanya, menjaga dirinya sebagi istri dan harta suami. Demikian pula
menguasai tugas istri dan mengerjakannya serta memperhatikan diri dan rumahnya.
Inilah istri shalihah sekaligus ibu yang
penuh kasih sayang, pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas apa
yang dipimpinnya. Juga mengakui kecakapan suami dan tiada mengingkari
kebaikannya. Untuk itu seyogyanya memaafkan kekeliruan dan mangabaikan
kekhilafan. Jangan berperilaku jelek ketika suami hadir dan jangan mengkhianati
ketika ia pergi.
Dengan ini sudah barang tentu akan tercapai
saling meridhai, akan langgeng hubungan, mesra, cinta dan kasih sayang. Dalam
hadits: "Perempuan mana yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya maka
ia masuk surga." (HR. Tirmidzi, Hakim, Ibnu Majah)
Maka bertaqwalah wahai kaum muslimin!
Ketahuilah bahwa dengan dicapainya keharmonisan akan tersebarlah semerbak
kebahagiaan dan tercipta suasana yang kondusif bagi tarbiyah.
Selain itu tumbuh pula kehidupan di rumah
yang mulia dengan dipenuhi cinta kasih dan saling pengertian anatar sifat
keibuan yang penuh kasih sayang dan kebapakan yang tegas, jauh dari cekcok,
perselisihan dan saling mendhalimi satu sama lain. Juga tak ada permusuhan dan
saling menyakiti.
BAB III
SIMPULAN
Lurusnya keluarga menjadi media untuk
menciptakan keamanan masyarakat. Islaminya keluarga akan menjadi pewarna untuk
menciptakan masyarakat yang islami pula. Bagaimana bisa aman bila ikatan
keluarga telah amburadul. Padahal Alloh memberi kenikmatan ini yaitu kenikmatan
kerukunan keluarga, kemesraan dan keharmonisannya.
Hubungan suami istri yang sangat solid dan
fungsinya sebagai orang tua di tambah anak-anaknya yang tumbuh dalam asuhan
mereka, merupakan gambaran umat terkini dan masadepan. Karena itu ketika setan
berhasil menceraikan hubungan keluarga dia tidak sekadar menggoncangkan sebuah
keluarga namun juga menjerumuskan masyarakat seluruhnya ke dalam kebobrokan
yang merajalela. Realita sekarang menjadi bukti.
Semoga Alloh merahmati pria yang perilakunya
terpuji, baik hatinya, pandai bergaul (terhadap keluarga), lemah lembut,
pengasih, penyayang, tekun, tidak berlebihan dan tiada lalai dengan
kewajibannya. Semoga Alloh merahmati pula wanita yang tidak mencari-cari
kekeliruan, tidak cerewet, shalihah, taat dan memelihara dirinya ketika
suaminya tidak ada karena Alloh telah memeliharanya.
Bertaqwalah wahai kaum muslimin, wahai suami
istri. Barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaaya akan dimudahkan
urusannya. (Syeikh Shalih bin Abdullah bin Al Humaid).
Daftar kunjungan situs :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar