Dialah Yang
Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin ; dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.
(Al-Quran Al-Hadiid 3)
(Al-Quran Al-Hadiid 3)
Maha Awal, Maha Akhir, Maha Zhahir, Maha Bathin., keempat nama Allah tersebut di dalam Al-Quran memiliki keunikan tersendiri.
Pertama, keempat sifat itu hanya
terdapat dalam sebuah surat dalam Al-Quran yakni surat 57 ayat 3. Maka jika
kita mencari salah satu saja dari keempat sifat di atas dalam surat lain
pada Al-Quran, maka kita tidak akan menemukannya.
Keunikan kedua,
keempat nama tersebut terletak dalam satu rangkaian pada satu surat dan ayat
yang sama.
Keunikan
ketiga, ayat tersebut memiliki penjelasan unik sebagai berikut :
Secara bahasa arti dari zhahir adalah
muncul, tampak atau jelas, dan istilah bathin berarti tersembunyi. Sedangkan
awwal bermakna pertama dan akhir bermakna yang kemudian atau yang terakhir.
Karena keempatnya tersemat pada nama Tuhan, maka al-Awwal berarti yang Maha
Pertama, al-Akhir berarti yang Maha Akhir, dan dua sifat terakhir bermakna Maha
Tampak dan Maha Tersembunyi
Sekilas
kita sedikit dibingungkan oleh pasangan sifat yang seakan kontradiktif ini.
Bagaimana mungkin sesuatu memiliki sifat tampak dan tersembunyi sekaligus ? dan
bagaimana menjelaskan sifat yang paling awal dan yang paling akhir berada dalam
zat yang sama?
Dalam menjelaskan dua pasang nama Allah
yang tampak kontradiktif tersebut, Imam Al-Ghazali melalui karyanya yang
berjudul Al-Asma’ Al –Husna Rahasia Nama-Nama Indah Allah, dengan hati-hati
menyatakan, bahwa kedua sifat pertama yakni azh-Zhahir dan al-Bathin harus
difahami secara relatif, Al-Ghazali berpendapat bahwa makna zhahir dan bathin
tidak mungkin muncul dalan segi yang sama, namun harus difahami dalam segi yang
berbeda. Ia (Allah) disebut bathin jika dilihat dengan alat-alat panca indera,
namun zhahir jika disimpulkan dengan akal budi.
Untuk menjelaskan hal ini Al-Ghazali
menggunakan sebuah perumpanaan berikut :
“Jika
anda perhatikan sepatah kata yang ditulis oleh seorang penulis yang luas
pengetahuannya, kompeten, mampu mendengar dan melihat dan kemudian anda
terpesona dengan tulisan itu, maka anda berkeyakinan bahwa penulisnya mestilah
ada dan tidak mungkin tulisan tersebut terjadi dengan sendirinya”, begitulah
Allah, menurut Al-Ghazali. Ia tidak kita lihat melalui indera kita namun
melalui karyanya kita dapat menyimpulkan keberadaan-Nya.
Demikian pula ketika Al-Ghazali menguraikan makna al-Awwal dan al-Akhir, beliau menuliskan bahwa pada dasarnya kedua sifat tersebut harus difahami dalam segi yang berbeda, dan mustahil terjadi kedua sifat tersebut pada segi yang sama : Allah adalah awal, Yang Pertama, dalam kaitannya dengan keberadaan-Nya terhadap alam semesta ini dan seluruh makhluk-Nya, dan Dia adalah al-Akhir, Yang Terakhir, dalam kaitannya dengan perjalanan waktu.
Mungkin sebuah “kebetulan”, bahwa ketika pada tahun 1905 Albert Einstein menguncang dunia ilmiah melalui Teori Relativitasnya, ia menjelaskan pengaruh dari teori tersebut pada tiga besaran fisika, yaitu pada : relativisme waktu, berkaitan dengan umur benda, relativisme massa, berkaitan dengan eksistensi benda, sebab sesuatu disebut ada jika ia memiliki massa atau memiliki energi. Kemudian relativisme jarak, berkaitan dengan visual atau penglihatan.
Inti dari relativitas khusus adalah bahwa boleh jadi dua orang (atau lebih) yang mengukur waktu (dalam arti umur), massa dan jarak sebuah benda yang sama akan mendapatkan hasil yang tampak amat berbeda satu sama lain. Hal tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan jenis atau kemampuan presisi dan akurasi alat ukurnya, namun karena memang seperti itulah adanya, tampak berbeda, bergantung keadaan si pengukur.
Einstein kemudian menambahkan dalam postulatnya, bahwa tidak ada benda di alam semesta ini yang kelajuannya melebihi kelajuan cahaya 3 x 10 m/s, sebab jika ini terjadi, maka sebagai dampak dari rumusan relativitas-khususnya, benda tersebut akan : pertama, tidak memiliki dimensi waktu, sebab waktu tidak lagi memiliki definisi matematis atau tak-hingga, tidak memiliki awal dan tak memiliki akhir. Kedua, benda tersebut akan memiliki massa yang teramat besar, sehingga tak bisa diwakili oleh angka sebesar apapun. Dan ketiga, Benda tersebut tak akan terlihat, sebab besaran seperti panjang, luas dan volume bernilai 0.
Hal ini berarti tidak semua yang
tak terlihat itu tidak ada.
Sehingga, seandainya ada benda yang melebihi cahaya (kelajuannya), maka bisa kita katakan benda tersebut tak berawal dan tak berakhir, berwujud (eksis) namun tak terlihat.
Sehingga, seandainya ada benda yang melebihi cahaya (kelajuannya), maka bisa kita katakan benda tersebut tak berawal dan tak berakhir, berwujud (eksis) namun tak terlihat.
Mari kita simak
sebuah ayat al-Quran berikut :
“Allah cahaya langit dan bumi... Cahaya di atas cahaya , Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (an-Nuur 35)
Allah selalu
mensifati kekuasaannya pada cahaya, bahkan cahaya di atas cahaya. Setelah
sekian abad kemudian, kita baru menyadari bahwa jika
sesuatu berada “di atas” cahaya, maka seperti inilah sifatnya :
Maha
Awwal, Maha Akhir, Maha Tampak dan Maha Tersembunyi. Maka Ia adalah Allah, Sang
cahaya di atas cahaya.
Imam
Al-Ghazali memang benar bahwa Allah Maha Awal dalam satu segi dan Maha Akhir
dalam segi lain, namun lebih tepat jika kita katakan Allah tak terbatas dimensi
waktu, Ia tidak berawal dan tidak berakhir menurut definisi makhluknya.
Al-Ghazali juga benar bahwa Allah memiliki sifat tampak melalui penyimpulan akal dan hati, sedangakan Allah bersifat tak tampak melalui panca indera dan rasionalitas. Namun lebih dari itu, Allah memang “eksis”, bahkan Maha Eksis baik secara rasio maupun secara akal-budi, dan Ia pun tak-tampak, baik melalui pemikiran rasional maupun lewat penyimpulan akal-budi.
Al-Ghazali juga benar bahwa Allah memiliki sifat tampak melalui penyimpulan akal dan hati, sedangakan Allah bersifat tak tampak melalui panca indera dan rasionalitas. Namun lebih dari itu, Allah memang “eksis”, bahkan Maha Eksis baik secara rasio maupun secara akal-budi, dan Ia pun tak-tampak, baik melalui pemikiran rasional maupun lewat penyimpulan akal-budi.
Wallahu a’lam bishawab
dikutip dari
jazakillah artikelnya pernah saya postkan di mading jurusan saya (pendidikan fisika uin bandung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar