senyum

senyum
senyuuuuuum - - - iya kamuuu - - - senyuuuuuum

Jumat, 14 Januari 2022

Hukuman? NO ! Restitusi dan Konsekuensi? YES! Aturan Kelas? NO ! Keyakinan Kelas? YES!

Apa yang akan kamu lakukan saat keyakinan yang teguh kamu jaga, ingin diubah orang lain? akankah kamu dengan mudah merelakannya? Jawabannya tentu tidak, kamu pasti akan sekuat tenaga mempertahankan apa yang telah kamu yakini, jikapun suatu saat keyakinan itu kamu relakan, itupun harus berangkat dari kepahaman dan alasan yang kuat mengapa kamu harus merelakannya.

Apasih maksudnya nis? 
Bahwa semua manusia cenderung akan mempertahankan apa yang diyakininya, sehingga jika kita ingin mengubah pola pikir seseorang maka goyahkanlah keyakinannya.

Udah ngeuh belum nih dari prolog di atas kira-kira bakalan bahas apa? wkwk.

Mau sharing tentang Budaya Positif yang sedang berusaha saya dan rekan-rekan terapkan di Sekolah. 

Sekolah saya adalah sekolah berbasis Pesantren yang sangat ketat dan penuh dengan aturan-aturan yang telah bertahun-tahun berjalan, aturan yang ketat inipun dibarengi dengan sanksi-sanksi yang tegas namun ternyata masih salah kaprah, sebagai contoh, pelanggaran keluar dari Pesantren tanpa izin maka hukumannya dibotak. Nyambung gak? nyambung gak? Enggaklah masa nyambung. Apa nyambungnya Kabur dengan dibotak? harusnya kalo kabur ya jangan dibotak tapi dikurung *eeeh, salah woyyyy! :s

Nah untuk meluruskan ini semua, saya perlu mengubah pola pikir. Mengubah pola pikir itu gak mudah, apalagi mengubah pola pikir orang dewasa cem kamu *eeh. Maka untuk bisa mengubah pola pikir temen-temen di Sekolah, saya punya PR dulu untuk menggoyahkan keyakinan yang mereka yakini sekarang, terutama soal DISIPLIN SISWA. 

Berbekal materi yang saya dapatkan dari modul 1.4 Program Pendidikan Guru Penggerak, saya memberanikan diri menyampaikan apa yang saya dapatkan di hadapan rekan-rekan guru juga ustad-ustad Pesantren. 

  • Bagaimana cara membuat murid disiplin?
  • Siapakah yang bisa mendisiplinkan murid?
  • Apakah guru yang bisa mendisiplinkan murid? Atau Kepala Sekolah? Atau orangtua murid? Atau murid itu sendiri?  Mengapa?
Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan. Kata “disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali. 

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa 

“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka. 
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,  Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. 

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 alasan motivasi perilaku manusia:

1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. 

2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. 

Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. 

3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya

Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal. 

Lalu, motivasi mana yang ingin kita hadirkan pada diri siswa-siswa kita?

Maka, untuk terbentuknya budaya positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas       

Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja? 

“Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm pada saat mengendarai kendaraan roda dua/motor?”

“Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?” 

Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama. Suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik.


Setiap orang, memiliki 5 kebutuhan pokok dalam hidupnya, kebutuhan untuk mempertahankan hidup, kebutuhan untuk merasa dicintai dan dimiliki, kebutuhan untuk diakui sebagai seseorang yang memiliki kemampuan, kebutuhan untuk kebebasan dan kebutuhan untuk bersenang-senang. Kebutuhan-kebutuhan inilah yang harus terpenuhi, jika salah satu dari kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi maka seseorang akan cenderung mudah untuk melakukan pelanggaran/penyimpangan. 

Konsep inilah yang harus kita pahami pada siswa-siswa kita saat mereka melakukan pelanggaran.

Sebagai seorang guru yang baik, apa yang bisa kita lakukan saat anak kita melakukan pelanggaran? menghakimi? menghukum? itu sudah bukan lagi pilihan yang baik. Kita perlu melakukan restitusi. Dengan 3 langkahnya.






Diharapkan dengan usaha-usaha ini, pembiasaan disiplin positif di Sekolah bisa tercapai dengan baik.

Adapun usaha yang saya lakukan di sekolah adalah dengan memulai membuat dan membangun Keyakinan Kelas

Dan video penerapannya di Sekolah bisa diakses di https://youtu.be/9mqPp1anJik

Semoga keberjalanan disiplin positif di sekolah kita dapat terlaksana dengan baik, anak-anak bisa tumbuh bahagia sesuai fitrahnya dan tumbuh maksimal dengan potensi-potensinya, aamiin

Terimakasih, 
Salam sharing dari saya Khairunnisa, Calon Guru Penggerak Angkatan 04 dari Kabupaten Ciamis ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar