senyum

senyum
senyuuuuuum - - - iya kamuuu - - - senyuuuuuum

Minggu, 18 Maret 2018

CINTA 1000 KM DARI RUMAH

Namaku Cinta 15 tahun sedang menangis, entahlah rasanya air mata ini tak habis-habis meski sudah kukeluarkan setiap hari sampai memerah seluruh wajah. Subuh ini kembali aku terbangun dan merasa asing, rasanya tak hendak aku bangun dari mimpi. Mataku kemudian basah untuk kesekian kali. Lelah, rasanya lelah lahir batin.

Suara ribut teman-teman baruku terdengar, mereka sudah selesai shalat subuh dan dzikir pagi. Beberapa langkah terdengar mengarah ke kamarku, kamar kami. Buru-buru kutarik selimut Winnie the pooh ku menyembunyikan basah di pipiku. “Cinta, kamu lihat buku mutaba’ah hafalanku tidak? Dimana ya, rasanya semalam kusimpan di atas lemariku”, itu suara Shafiya teman sekamarku. “Gak tau Fiy.” Jawabku pelan. “Aduh dimana ya, ustadzah Nuna nungguin lagi” Syafiya masih mencari-cari di sekitar kamar kami. “Eh kamu sakit Cin? Kok gak shalat subuh di Mushola sih?”. Ku kibaskan tangannnya yang berusaha memegang keningku “iya, aku gak enak badan, bilangin ya ke ustadzah aku gak ikut setoran hafalan”. “Ah kamu mah, bukan sakit tapi galau manjahhhh”, ujarnya sambil berlalu menuju Mushola.

Manja? Terserahlah apa sebutan mereka untukku, aku memang gak sekeren mereka yang baru sebulan tapi sudah bisa betah di Pesantren ini. Aku tidak betah titik. Aku nyaris benci harus ada di sini.

Aaaarrrrrggggggghhhhhhhhh. Rasanya kadang sampai hilang akal mengapa ibuku tega memasukkanku ke Pesantren ini, tega sekali rasanya, sebandel apasih aku sampai harus disekolahkan di Pesantren? Tak tanggung-tanggung 1000 km dari rumah, menyebrang pulau, perjalanan darat, laut dan udara semua kulalui untuk sampai di Pesantren ini. Tak pernah terbersit sedikitpun aku bisa ada di sini, nama daerahnya pun tak sama sekali pernah ku dengar sebelum 2 bulan yang lalu, saat bunda dan ayah kasak kusuk membicarakan pendidikanku. Pupus sudah harapan bersekolah di SMA Negeri favorit di kotaku bersama sahabat-sahabat geng-ku, tamat sudah bayanganku soal menghabiskan masa putih abu yang berwana-warni di kotaku, buyar semuanya, warung Mba Yum tempat kami menghabiskan berjam-jam penuh canda, Alun-alun kota tempat kumeluapkan cita dan cinta menghabiskan segelas es jeruk bersamanya, Mall Indah Permai tempat kami sebulan sekali menyengaja menonton film, sampai Pantai Kapuk di belakang rumahku yang seringku datangi pada senja-senja di hari beratku. Semuanya hanya kenangan dan sesuatu yang tak boleh kurindukan.
Parahhhh.
Air mataku menderas lagi. Aku kangen kotaku, rumahku, dan semuanya tentang itu.

Sudah 2 hari aku tidak sekolah dan absen di semua aktivitas di asramaku. Tampaknya air mata ini membuat keningku panas betulan, aku demam, tapi tidak se-demam jiwaku. Teman-teman dan ustadzah kamarku berkali-kali menanyakan keadaanku, memaksa dan menawarkan makanan ini itu, rasanya aku tetap tak mampu makan kali ini. Aku tiba-tiba rindu pada sop hangat buatan bunda, atau pijatan lembut ayah pada sendi-sendi di kakiku. Aku tiba-tiba rindu semua omelan bunda yang selalu membanding-bandingkan ku dengan Hani anak temannya bunda yang sholeha dan berkerudung rapi, berbeda sekali dengan aku anak bunda yang masih menggerai rambut, sering jalan-jalan sama temen, dan ketahuan pacaran. Astaga rasanya kali ini aku lebih memilih diomelin bunda sepanjang hari atau dibanding-bandingkan dengan semua anak-anak temen bunda yang sholeha itu, gak pa pa deh, daripada harus ada di sini di Pesantren yang jauhnya 1000 km dari bunda. Bundaaaaa kau sungguh tegaaaaa, anakmu ini bisa gilaaaaaa T_T.

Tiga bulan berlalu, tiga bulan terberat dalam sejarah hidupku. Bunda bilang lama-lama juga betah, lama – lamanya kapan bunda??? Bunda gak ngerasain gimana harus bangun jam setengah empat setiap hari dengan cuaca kota ini yang bikin gigi bergemeletuk tiap pagi. Bunda gak ngerasain tiap subuh harus setor hafalan yang gak boleh salah satu tajwid pun, bunda gak ngerasain ribetnya ngatur waktu antara piket asrama, ngantri mandi dan sarapan pagi. Anak bunda ini sering ke sekolah tanpa sarapan. Belum lagi urusan cucian, dan jemuran yang sering dipinjam tanpa pemberitahuan. Bunda gak tahu gimana rasanya malam-malam kebelet pipis tapi takut dan gak enak mau bangunin temen, bunda gak paham gimana saat-saat yang kadang perasaan nelangsa ini bikin gak bisa tidur malem-malem.
Gak betah bundaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!

Suatu hari tanpa sengaja aku terlibat sebuah percakapan dengan sahabatku Bina tentang alasannya mengapa ada di Pesantren ini, yang ku tahu Bina satu-satunya temanku yang masih sering menangis diam-diam sepertiku, kami sama-sama terpaksa ada di Pesantren ini.

“Cinta? Kamu tahu tidak mengapa orangtuaku mengirimku ke Pesantren ini?”.

“Ya biar kamu jadi sholeha lah, hafal Al Qur’an dan jadi kebanggaan orangtua, apa lagi?”

“Salah, mama bilang aku dikirim ke sini biar ada temen, siang dan malam ramai dan gak kesepian, biar mama tenang kalau lagi nugas di luar kota, bonusnya kata mama biar aku pandai mengaji dan bisa ngajarin mama nanti kalau sudah pensiun”.

Aku melongo.
“Serius Bin, mama kamu bilang gitu?”.

“Iya!” Bina menjawab datar.

“Itu artinya mama kamu kayak buang kamu gitu dong Bin?”.

“Awalnya sih aku juga ngerasanya gitu, kok mama kayak gak mau ngurus aku gitu kan, tapi setelah beberapa bulan di sini aku jadi mikir, emang mama udah sibuk banget sejak aku SD atau sejak papa pergi gak tau kemana, aku mikirnya mama bener juga, coba kalau aku di rumah ditemenin bibi yang bantu-bantu di rumah, aku ngebayangin bakalan jarang pulang deh gara-gara di rumah sepi, iya kalau aku ketemu temen-temen yang baik, kalau enggak kan gawat Cin”.

“Iya juga sih. Lah trus kenapa kamu sekarang masih nangis diam-diam?”.

“Sedih lah Cin, kangen juga sama mama, tiap giliran kamar kita jadwal nelpon mama pasti lagi sibuk dan gak bisa diganggu, 3 bulan di sini aku baru bisa ngobrol sekali sama mama, itupun gak lama karena mama udah keburu mau boarding ke Makassar, nah kamu kenapa masih sering nangis dan bolos kegiatan asrama?”.

“Sama kayak kamu, kangen rumah, ditambah aku belum biasa hidup banyak aturan gini Bin, dari bangun tidur sampai mau tidur semuanya diatur, gak boleh megang handphone, harus pakai rok terus, jadwal padat, makanan sering gak selera, kamar mandi ngantri, gak bebas bangetlah rasanya, gak betah Bin”.

“Sabar ya Cin, kata ustadzah kita sekarang lagi dididik biar menjadi manusia-manusia yang keren dunia akhirat, biar selalu di sayang sama Allah, kalau dipikir-pikir sih semua aturan memang untuk kebaikan kita-kita juga, ya tapi aku juga masih suka kesel kalau pagi-pagi dipaksa bangun, dingin ya Cin, hehe”.

Dalam hati ya ampun, Bina bijak banget ya, kok aku belum sampai kesana mikirnya. Ah bundaaaaaa, jangan kayak mamanya Bina yaaaaa.

Pekan ini aku libur bulanan, itu artinya boleh keluar lingkungan Pesantren, seharian gak ada kegiatan asrama, boleh pegang handphone pribadi dan belanja-belanja keperluan. Ah bahagia, rasanya pekan ini semua santri antusias menunggu hari itu. Aku sudah berencana akan pergi ke warnet karena bunda gak bolehin aku bawa handphone, aku mau buka sosmed dan menyapa sahabat-sahabat lamaku nun jauh di sana.

Minggu ceria itu tiba juga, aku pergi ke warnet bersama temanku Vina. Vina berniat hendak menghapus semua foto-fotonya saat SMP yang belum berhijab, gara-gara dapet materi tentang dosa jariah dari kultum dua pekan lalu, bahwa ternyata dosa juga bisa jariah alias mengalir meskipun kita sudah meninggal, yaitu salah satunya jika kita memajang foto yang tidak berhijab di sosmed, selama foto itu belum dihapus dan selama foto itu dilihat oleh non mahram, maka selama itu pula lah dosa itu akan terus mengalir meskipun saat ini kita sudah berhijab. Vina bilang fotonya ada ratusan, sepertinya dia bakalan lama di warnet, aku sih seneng-seneng aja ada temen.

Tiba di warnet, yang pertama kubuka adalah facebook karena situs inilah yang paling sering aku gunakan. Ku lihat-lihat status dan foto-foto temanku di timeline, wajah mereka terlihat bahagia, sedang berkumpul di sebuah tempat makan memegang minuman yang akhir-akhir ini lagi hits, aku tahu, itu foto mereka di Mall Indah Permai. Teman geng ku? mereka semua sukses sekolah di tempat yang sama, terlihat dari seragam yang dikenakan, itu seragam SMA Negeri Favorit di Kotaku.  Aarrrggghhh, seharusnya aku ada di sana bersama mereka.

Ku kirim pesan melalui massanger, tak lama Lani membalas pesanku.

Aku: Heiiiiiiiiiii, kangeeeeeeennnnnnnnnnnn!
Lani : Bu hajiiiiiii, kemana ajaaaaaa?
Aku : Ada ajaaaaaaa, iiiihhhhhh kangen banget sumpahhhhhh!
Lani: Sama, sinilah pindah aja lagi (
Aku : T_T

Rasanya tak sanggup meneruskan chat dengan Lani, dan aku pun menangis (lagi) di warnet pula. Aku menyesali keputusan ku sendiri mengapa dulu begitu kesalnya pada bunda karena selalu dibanding-bandingkan dengan Hani, yang membuat hatiku mantap ingin pergi jauh-jauh dari bunda dan membuktikan bahwa aku juga bisa kok jadi Hani. Tapi sekarang? Sudah berbulan-bulan aku masih saja rindu pada kehidupanku yang dulu.

Sebuah inbox masuk, dari Rena.
Rena: Cintaaaaaaaa, kemana ajaaaaaaa, gimana di sana? Seru gak?
Aku: Aku ada kok Ren, Cuma lagi pergi dulu mencari kitab suci bersama kera sakti, hahaha.
Rena: hahaha, sama kera sakti? Berarti kamu Patkai nya dong? Wkwkwk
Aku : (-_-‘)
Rena: Maaf – maaf bercanda lah Cin..., sensitif sekarang ya? Aku mau cerita nihhh, soal Nathan.
Aku: Nathan kenapa?
Rena: Dia nembak akuuu, dan sekarang udah sebulan kita jadian.
Aku: Oooh
Rena: Cuma oooh doang?
Aku: Terusss musti gimana?
Rena: Ya kasih selamat kek, komen apa kek gituuu.
Aku : Iyaaa, selamat yaaa kalian semoga selamat terus (
Rena: Ih kamu mah, pasti sirik deh kalau aku cerita gimana dia nembak aku.
Aku : Emang?
Rena: Dia nembak aku di tengah lapangan pas selesai upacara. Jadi dia kebagian tugas jadi pemimpin upacara kan, udah gitu pas di akhir tu, pas bagian pengumuman-pengumuman dia tiba-tiba ke depan dan ngambil mikropon seolah-olah mau menyampaikan pengumuman gitu, padahal dia Cuma mau bilang dia sayang sama aku. Bayangin dong satu sekolah nyorakin dia, sehabis itu dia dipanggil ke BP. Eh malemnya dia ngajak makan di lesehan Alun-alun kota dan bilang kalau dia sayang sama aku, udah gitu dia nyium kening akuuuu Cintaaaaaaa, bayangiiiiin gimana gak meleleh cobaaa.
Aku : Serius? Kalian baru jadian dan dia udah nyosor kamu gitu?
Rena: Ah kamu gak seru ah, bahasanya gitu. Udah ah, aku tahu kamu cemburu karena sebelum sama Rian aku tahu kamu pernah naksir sama Nathan kan?
Aku: Hah? Gosip itu Ren, yaelahhh. Aku sih biasa aja kamu mau jadian sama Nathan, mau cium-ciuman mau jungkir balik terbang bulan madu ke bulan pun.
Rena: Gak segitunya juga kali Cin, kayak kamu gak pernah aja sama Rian.
Aku : Emang gak pernah gimana Ren?
Rena: Ah udah ah, kita lama gak ketemu malah jadi berantem gini, ya deh yang anak pesantren, udah sholiha lah ya Cin sekarang? Udah jago ceramah cem Pak Haji Bani di tempat kita tu.
Aku: Gak lah Ren.

Rena tidak melanjutkan percakapan kami. Aku pun tidak ingin memperpanjang. Niatku ingin melepas kangen kok malah jadi kesel. Ku lanjutkan meilihat-lihat timeline sambil menunggu Veni selesai. Tiba-tiba muncul status dari orang yang ku kenal, Rian. Di situ terlihat sebuah foto berlatar Alun-alun kota dan dua tangan yang sedang bergandengan, dengan caption “terimakasih sudah mau mengisi kepingan yang kosong di hati, semoga semesta merestui kita”.

Ada yang dingin di ulu hatiku, kemudian menjalar ke seluruh tubuh dan mengeras di rahangku, lalu tetesan itu tak sanggup ku bendung, dengan bebasnya mengikuti gravitasi bumi, aku menangis, kali ini tak bersuara namun sesak di ulu hati. Bukankah kami pernah berjanji, pada senja di depan dua gelas es jeruk, bahwa sejauh apapun aku harus pergi, kan selalu ada hatimu yang dengan sabar menanti. Bukankah kamu pernah bersungguh-sungguh meyakinkanku untuk pergi mengikuti mau orangtuaku. Bukankah senja itu kau seka air mataku dan berkata “pergilah, aku selalu di sini”.

Minggu ini kelabu, ia tak seceria penggambarannya. Minggu ini tak ada beda, ku lewatkan dengan banjir air mata. Harus pada siapa aku bercerita? Ku berlari menuju asrama, ku cari Bina. Ia sedang tilawah di mushola.
“Binaaa, pinjem bahu kamu boleh?”.
“Ada apa dengan Cinta? Masihkah ia merindukan bunda? Atau ingin kabur dari hukuman kakak asrama?”, Bina menggodaku.
“Aaaaahhh Binaaaa..”, aku sudah banjir air mata.
“Tsuuuutttt, kenapa Cinta ku?, Bina memelukku.
“Pacarku jadian sama perempuan lain T_T, tadi aku lihat di facebooknya...”, ujarku sesenggukan kesulitan bernafas.
“Ya biarin aja lah Cin, kasihin aja, udah gak butuh juga kan?”
“Ih antiii jahat, temennya lagi sedih gini malah di becandain terus (”
“Hmmm, iya sinihhhh, kan ini juga lagi dipeluk Cintaaaahhhh, udah ah biarin aja jangan menangisi sesuatu yang tidak layak untuk ditangisi, sayang air matanya, mending simpen buat besok nangisin bunda lagi”
“iiiiiiihhhhh antiiiiiiii” aku melepaskan pelukannya.
“Lah bener kan Cintaaa? Coba tunjukin bagian mana yang aku salah sebut?”
“Heuuummhhh iyaaa, dasar kejammmm :p”
“Anak cantik gini harus dikejamin biar nyadar, calon-calon hafidzah kok membleee, dilupain cowo doang mah biarin aja, asal jangan dilupain bunda, apalagi dilupain Allah. Ya kan?”
Aku nyengir mengangguk, masih sesekali cegukan sisa sesenggukan tadi.
“Udah sonoh mandi, bentar lagi magrib, ba’da magrib ada kajian dari ustadzah Sani, siram itu mata minta ampun sudah menangisi selain dosa, dosa aja jarang ditangisi :p”
“iyaaaa Bina cereweeeet!”

Magrib ini terasa lebih plong, sehabis mengguyur seluruh badan dengan air kemudian memaksakan tilawah 2 lembar. Ba’da magrib Ustadzah Sani mengisi kajian tentang Kewajiban muslimah, bahwa muslimah memiliki 2 fase hidup yaitu sebelum dan sesudah menikah, yang masing-masing memiliki kewajiban yang berbeda. Kewajiban muslimah sebelum menikah yang pertama adalah berbuat baik kepada kedua orangtua. Ustadzah Sani menjelaskan bahwa salah satu cara berbuat baik kepada orangtua adalah dengan menjadi anak yang sholeh/ah. Dengan ke sholeh-hannya seorang anak akan mampu membawa orangtuanya ke syurga. Beliau juga berkata bahwa orangtua kami adalah orangtua-orangtua yang cerdas, yang tidak hanya memikirkan kebahagiaan di dunia, tetapi justru lebih memperjuangkan kebahagiaan untuk akhirat dengan memasukkan kami ke Pesantren untuk dididik menjadi anak-anak yang sholih dan sholiha.

“Kalian pikir yang kangen itu hanya kalian saja? Orangtua kalian juga menahan rindu-rindu mereka dan menyalurkannya melalui doa-doa panjang untuk kalian. Kalian??? Sudahkah menyalurkan rindu kalian melalui doa? Atau dengan cara bersungguh-sungguh dalam belajar dan menghafal Al Qur’an? Kalian mengaku mencintai mereka tapi sering membuat mereka khawatir dengan tangisan dan rengekan kalian hanya karena harus mengantri mandi, atau makan berlauk sayur kangkung?”, ustadzah Sani mencecar kami dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku sesak.
“Kalian mengaku menyayangi mereka, sedang kalian tahu satu-satunya cara menolong dan membahagiakan mereka di dunia dan akhirat adalah dengan menjadikan diri kalian sholih/sholiha, berjuanglah, tahanlah air mata itu, berdoalah pada Allah mohon kekuatan. Hidup di Pesantren memang berat tapi Allah yang akan meringankan, berproses menjadi anak yang baik memang susah tapi Allah yang akan memudahkan. Berdoa, mohon kekuatan, mohon dimudahkan, mohon diringankan. Betapa beruntungnya kalian yang sedari muda sudah dipahamkan nilai-nilai agama. Berapa banyak anak-anak gadis atau pemuda-pemuda di luar sana yang bahkan solat lima waktu pun belum tahu bacaannya? Sedangkan kalian di sini, terlambat shalatpun dibangunkan, jika salah saling mengingatkan, saling menguatkan, berapa banyak anak-anak sebaya kalian di luar sana yang hidup tanpa aturan? Tidak ada yang mengingatkan apalagi mengajarkan. Sepantasnyalah kita bersyukur atas nikmat iman dan islam yang mahal. Alhamdulillah!”. Seisi Mushola kompak mengucapkan hamdalah. Alhamdulillah...

Dan aku malam ini kembali menangis, menangis haru atas semua cerita hidup yang menghantarkanku sampai di Pesantren ini. Menangis haru beristigfar atas kebodohan-kebodohanku soal Rian, soal kesalku pada bunda, soal betapa beruntungnya aku berada di sini, di jarak 1000 km dari rumah. Bahwa aku harus memperjuangkan cintaku pada bunda, pada ayah, pada adik-adik, pun pada sahabat-sahabat yang membutuhkan sentuhan cahaya islam dariku yang jauh-jauh dikirim bunda untuk belajar. Walau berat, Allah yang akan meringankan, walau sulit, Allah yang akan memudahkan. Aku di sini bunda, 1000 km dari rumah, sedang memperjuangkan cinta untukmu, untuk ayah dan untuk semesta ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar