Aku dulu berpendapat bahwa orang baik tak akan punya musuh. Namun ternyata pendapatku salah. Ust Fahri Hamzah membuka pikiranku. Dalam sebuah twitt nya di tahun 2013 seingatku, beliau bilang semua orang punya musuh. Orang sebaik apapun pasti punya musuh. Tak apa punya musuh, asal posisimu benar. Engkau dimusuhi oleh hal yang memang pantas menjadi musuh, atau ditemani oleh orang yang memang seharusnya menjadi teman.
Njelimet ya?
Sederhananya kalau kamu orang baik pasti yang memusuhimu orang jahat. Kalau kamu dimusuhi oleh orang baik pasti kamu orang jahat.
Baik dan jahat sesuai indikator Tuhan, bukan manusia.
Dilain kesempatan seorang ust berkata dalam sebuah pembicaraan. Setiap manusia punya musuh alami. Dan sulitnya adalah Allah ciptakan mereka dari 2 jenis golongan. Yang pertama adalah musuh yang engkau benci, dan kedua adalah musuh yang justru engkau cintai.
Menghadapi musuh jenis pertama tentu lebih mudah daripada menghadapi musuh jenis kedua.
Sang Ustad menambahkan.
"Istrimu, anakmu, hartamu, sahabatmu, orangtuamu, atau mungkin pekerjaanmu adalah contoh dari musuh jenis kedua. Musuh yang kita sayangi. Itulah yang membuat Abu Bakar meminta anaknya menceraikan istrinya. Karena tak sanggup berpisah meski untuk shalat berjamaah ke mesjid."
Jlebbbbb.
Dari pemaparan di atas, makna musuh menjadi lebih spesifik, bukan lagi soal baik dan jahat.
Aku menyimpulkan, sejatinya musuh dalam hidup kita adalah sesuatu yang membuat kita tidak maju, sesuatu yang membuat kita tidak menjadi orang-orang yang kualitas hidupnya naik. Atau dengan kalimat lain. Musuh kita adalah sesuatu yang membuat kita menjadi jauh dari Allah.
Kemudian aku bertanya-tanya. Apakah aku pernah menjadi 'musuh' bagi orang-orang terdekatku?
Ku ingat di awal-awal pernikahan. Seorang ustad berbicara lantang dalam sebuah seminar pernikahan.
"Jangan halangi suamimu keluar untuk menuntut ilmu!"
"Di proposal taaruf menulis visi misi pernikahan adalah untuk saling menguatkan di jalan dakwah, tapi ditinggal liqo atau syuro seperti tidak ridha."
Astagfirullah. . .
Maka suatu malam percakapan kami membahas serius soal ini.
"A, pokoknya patokannya Allah aja. Kalau menurut Aa Allah ridha, Rasulullah nyontohin, silakan A, walaupun aku terlihat tidak suka.
Dia cuma berdehem, iya . . .
Aku juga minta keikhlasan aa untuk sesekali keluar untuk liqo.
Iya, tapi tetap disesuaikan ya.
Dan ternyata memang semua tak semudah mengatakannya. :D
Tak mudah melepasnya di hujan lebat bersama petir.
Tak mudah melepasnya di malam-malam atau subuh dini hari.
Tak mudah melepasnya saat kita sedang sakit, lebih lagi saat ia yang sakit.
Namun lebih dari itu
Aku tak mau menjadi musuh apalagi untukmu :)
“Katakanlah jika bapak-bapakmu, anak-anakmu. saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah samapai Allah mendatangkan keputusanNYa. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”(QS. At-Taubah: 24).
Alhamdulillah 21.16
#Harike10
#30DWC
#30DayaWritingChallange
Tidak ada komentar:
Posting Komentar